Tiba-tiba raut wajahnya menegang. Kedua tangannya mengepal keras, melesat
bergerak gesit layaknya pendekar bersilat. Kakinya kokoh, mencengkeram dan
sesekali mengais-ngais tanah. Bajunya terkoyak, tercabik-cabik hingga tak
karuan oleh tangannya sendiri. Bapak itu seketika menjadi beringas tak terkendali.
“Grrr…siapa kalian? Mau apa datang ke sini?” Suaranya serak menyentak. Tatapannya
tajam, menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati siapa-siapa yang ada di
sekelilingnya.
“Assalamualaikum. Anda ini siapa?” Aku menyahut, sedikit terpana dan takut.
Aku memberanikan diri menyodorkan sepatah kata, memulai berdialog dengan orang
yang sedang kesurupan ini. Orang-orang lain di dekatku hanya diam mengamati.
“Aku Waringin Jati, yang disuruh Mangku Jati menjaga tempat ini sejak
zaman dulu.” Kembang-kempis dadanya terasa. Napasnya terengah-engah.
“Maaf, Mbah. Kami tidak bermaksud mengganggu. Kami hanya ingin tahu
sejarah penyebaran Islam di daerah ini. Apa
benar Mangku Jati adalah tokoh penyebar Islam di sini? Dengan cara apa Islam
disebarkan?”
“Dulu, manusia di sini belum punya agama. Manusia di sini masih bodoh.
Mangku Jati belum punya pengikut. Beliau malah dianggap akan merusak tata krama
di desa ini,” jawabnya.
“Kenapa disangka merusak, bukannya niatnya baik?”
“Lho...baik itu kan menurut kamu yang hidup di zaman sekarang!”
Jawabannya membuatku tersontak. Namun kulanjutkan untuk berdialog, “Orang-orang
di sini dulu memang seperti apa?”
“Di sini dulu belum ada agama. Belum ada aturan dan norma. Manusia liar
layaknya binatang!” jawabnya sembari terus menatapku tajam.
“Cara Mangku Jati menyebarkan agama di sini bagaimana?”
Bapak itu kemudian menggerak-gerakkan tangannya. Melenggak-lenggok gemulai
layaknya seorang penari. Namun kemudian irama gerakan berubah total. Tangannya kokoh,
mengepal melesat-lesat bak pendekar. Bapak itu menjelaskan bahwa orang-orang di
sini dulu suka berjoget, suka kesenian tari dan musik tradisional. Mangku Jati
juga melakukan hal yang sama, namun disisipi dengan silat. Pendekatan zaman
dahulu bukan langsung dengan ilmu agama, namun dengan seni dan silat.
“Coba aku tanya, agamamu apa?” bapak itu mengacungkan telunjuk jarinya ke
arahku, tiba-tiba melemparkan sebuah pertanyaan.
“Agamaku Islam, Mbah.”
“Tahu syarat masuk Islam?”
“Membaca syahadat...” jawabku agak ragu. Padahal pertanyaan itu
seharusnya mudah untuk seseorang yang sudah lama ber-Islam sepertiku.
“Tahu artinya?”
“Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabiku adalah Muhammad utusan Allah...”
“Bukan seperti itu,” dia menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
membenarkan, “saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa
Nabi Muhammad utusan Allah.”
“Tahu kamu...kapan kamu ketemu dengan Nabi? Bertemu saja tidak pernah,
kok bisa bersaksi? Saksi itu harus bisa menyaksikan,” lanjutnya bertanya
kepadaku, “coba ulangi bagaimana arti syahadat?”
“Aku bersaksi…”
“Lha…kapan kamu bertemu? Bertemu saja tidak pernah, kok bisa bilang
bersaksi?!” dia memotong perkataanku, “sana! Belajar ngaji dulu! Biar kamu
ngerti.”
Aku hanya bisa menatap bapak itu sambil mengangguk-anggukkan kepala. Bengong.
Tak percaya sedang dihakimi oleh orang yang sedang kesurupan, namun
perkataannya serasa menampari mukaku.
Penghakimannya tak berhenti di situ.
“Jadi, kamu masuk Islam ini gara-gara faktor turunan? Itu namanya
ikut-ikutan! Seharusnya kamu mulai sadar. Bersyahadat itu bersaksi bukan dengan
mata, tetapi dengan hati, rasa, dan cipta.
“Belajarlah dulu! Gali dulu apa yang ada dalam Islam. Agar kamu tahu
bahwa Islam itu adalah peraturan yang ditujukan untuk kebaikan anak cucu Adam.
Manusia itu tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah.”
“Baik, Mbah. Benar,” sahut salah satu rekan yang ada di sebelahku, “apakah
di sini ada peziarah yang meminta-minta?”
“Banyak! Manusia semua memang layaknya binatang, bila akal dan
pikirannya tidak dipakai. Kuburan itu tidak bisa dimintai nomor (togel). Jangankan
makam saya, makam Nabi pun kalau dimintai nomor ya tidak bakal memberi. Kalau
ingin kaya ya gampang. Kerja!”
“Di sini, apa ada sebangsa jin yang mengganggu manusia? yang
membelokkan niat orang yang berziarah di sini?” Rekanku kembali bersuara.
“Manusia itu tidak perlu digoda sudah melenceng sendiri! Sekarang setan
malah menganggur, karena manusia sendiri yang mencari setan, bukan sebaliknya.
“…kalau masalah agama, tanya ke saya. Di sini gudangnya ilmu agama.”
“Gudang ilmu bagaimana maksudnya, Mbah?”
“Kamu punya masalah apa?...kamu sholat? Kamu yakin sudah shalat dengan sempurna?
Saya yakin belum. Sekedar contoh, inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati
lillahi rabbil ‘alamin. Coba, harta duniamu saya minta, boleh tidak?
“Kalau masih lebih berat dunia, artinya niatnya tidak kepada Tuhan.
Padahal kalian sudah janji bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku hanya untuk Allah Tuhan Semesta Alam.
“Memang manusia itu munafik. Tak ada manusia yang bersih hatinya. Beruntung
para leluhur mengajarkan Islam di sini, kalau tidak, manusia semestinya rusak.”
Aku tak merespon. Cerocosnya menyita perhatianku hingga aku tak banyak
kata.
“Apa Anda dulu punya pusaka saat menyebarkan agama?” rekanku bertanya
lagi.
“Dalam menyebarkan agama, pusaka kita adalah lidah dan tingkah laku.
Manusia akan diikuti jika bicaranya baik. Akan ditiru, jika tingkah lakunya
baik. Dengan kebaikan itulah manusia bisa menjadi guru. Artinya, manusia bisa
didengar omongannya juga bisa ditiru kelakuannya. Itulah senjata menyebarkan
agama. Tidak memakai keris atau pusaka sejenisnya. Senjata itu tidak ada
apa-apanya, sekedar besi yang ditempa menjadi keris. Itu semua buatan manusia,”
jelasnya panjang lebar.
Aku ternganga atas tiap kata yang keluar dari mulut bapak itu sejak
awal. Perkataannya bagai intisari ilmu yang keluar satu per satu. Aku baru
sadar bahwa masih begitu jauh pemahamanku tentang agama. Selama ini justru aku
meremehkannya, larut dalam materialisme dunia. Dan ilmu agama…hal yang menjadi
dasar hidup justru kuanggap sepele. Tahu itu aku malu.
“Ada pesan untuk kami semua, Mbah?” dengan masih tertegun aku mulai
kembali bertanya.
“Pesanku sedikit saja. Kalian hidup di dunia diciptakan oleh Allah
untuk menyembahNya. Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Jadi jika
ingin hidup selamat, mendekatlah kepada Allah. Jangan tinggalkan shalat lima
waktu. Pelajari syahadat dengan benar, biar paham. Tidak hanya jadi saksi
palsu.
“Mengaji jangan terlalu muluk. Perdalami dulu al-Fatihah. Contoh
kecilnya, alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji milik Allah Tuhan Semesta
Alam. Jadi, kalau manusia masih berhasrat dipuji maupun disanjung, maka itu
masih belum menjadi hamba Allah. Artinya manusia masih punya sifat riya’, ingin
dipuji karena amalnya.
“Buka kitab kalian. Pelajari. Pahami kalau kalian ingin tahu rahasia
alam semesta.”
mlg/19/11/14/*diadaptasi dari salah satu video “Dua Dunia”
“Beri hamba keturunan! Satu saja. Satu saja, ya Allah.”
Begitu ucapku, dengan tangan menengadah, raga di atas sajadah.
Tak seperti biasanya saat aku meminta di hadapan Sang Khalik. Kali ini doaku
sangat singkat.
Biasanya, bisa bermenit-menit aku habiskan untuk berdoa seusai
shalat malam. Bisa puluhan kata yang keluar dari mulutku sebagai kesungguhanku
memohon kepadaNya. Bisa menggenang tetes air mataku kala mengadu, beriringan dengan isak tangis
lirih. Namun, kali ini berbeda. Sangat singkat.
Entah kenapa. Aku tak tahu. Apakah ini bermakna aku lelah? Lelah
karena doaku seakan tak ada manfaatnya? Lelah karena doaku tak kunjung
dikabulkan? Lelah karena rasanya Allah tak mendengarku? Atau, Allah mendengar
namun tak sudi mengabulkan?
Astaghfirullah, semoga tidak seperti itu.
Kalaupun benar aku lelah,
semoga singkat doaku ini sebab hatiku yang sekedar penat sejenak. Sekedar
sejenak kesabaranku turun. Namun tak mengubah sedikitpun harap dan semangatku
kepadaNya untuk terus berdoa memohon. Memohon agar Allah berkenan memberiku
kesempatan untuk memiliki anak.
Kini, tahun usia pernikahanku sudah menginjak angka empat belas. Tak
terasa sama sekali perjalanan ini, yang bila dilihat dari sudut pandang
kebahagian, terasa singkat bagai kedipan mata. Namun terasa sangat
dan semakin berat tatkala kulihat dari sudut pandang nestapa. Nestapaku
yang tak juga memiliki keturunan.
Sebagai wanita, juga sebagai seorang istri, hal ini terasa begitu berat. Empat belas
tahun bukan waktu yang pendek. Bukan pula waktu yang panjang,, tapi panjang yang amat sangat!
Ada beban tersendiri di tiap bulan, tiap pekan, tiap hari, juga tiap
detiknya. Beban bahwa aku belum juga punya anak! Beban itu terasa lebih berat
bila kulihat teman-temanku yang sudah punya anak, tetangga-tetanggaku yang
punya momongan, juga rekan-rekan di tempat kerjaku. Dan sungguh, jujur saja, beban itu
terasa memberat tatkala mereka memamerkannya kepadaku. Mereka menceritakan
kelucuan buah hati mereka, kehebatan jagoan kecil mereka, tingkah laku,
prestasi, dan hal-hal lain tentang mereka.
Astaghfirullah. Bukan maksudku iri. Bukan maksudku sedih di atas
kebahagiaan orang lain. Sungguh bukan seperti itu.
Dari segi materi, kami memang tergolong berkecukupan. Aku seorang
wanita karir. Aku bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan di kota
Bandung. Suamiku, Mas Hamdan, adalah seorang arsitektur. Hari-harinya dipenuhi
dengan kesibukan menggarap berbagai proyek pembangunan hotel dan apartemen di
kota-kota besar.
Sebenarnya aku bisa saja tak bekerja. Tak perlu repot-repot. Cukup
suamiku. Lebih-lebih, aku juga tak terlalu suka bila bekerja sampai larut sore.
Sibuk dengan deadline-deadline kantor. Lembur hingga terkadang pulang kebablas
malam. Namun, aku merasa itulah yang terbaik buatku. Itulah yang terbaik untuk
mengisi waktuku. Karena aku tahu, bila aku tak bekerja dan hanya tinggal di
rumah, apa yang bisa kulakukan? Menjadi ibu rumahtangga secara penuh? Mendidik,
merawat, dan menemani buah hati? Jangan dikira aku tak menginginkannya. Tentu
aku sangat menginginkannya! Namun, bagaimana mungkin aku mewujudkannya?
Sedangkan semua tahu, bahwa aku belum punya anak!
Kehadiran buah hati yang aku damba, tetap belum juga kunjung datang.
Limpahan rizki materi yang aku genggam pun terasa hambar. Keputusanku menjadi
wanita karir adalah karena itulah yang menurutku satu-satunya hal yang aku bisa
pilih, yang hanya aku bisa lakukan untuk mengisi waktuku. Setidaknya, aku bisa
tetap beraktifitas dan menyibukkan diri. Sehingga tidak ada waktu buatku untuk
termenung berlama-lama meratapi kesedihan. Kesedihan tak kunjung punya anak.
Aku masih tetap tegar. Meski buah hati belum kunjung hadir, aku
sabar. Aku juga harus selalu berterimakasih kepada Tuhan dengan keadaanku yang
serba berkecukupan. Dan yang lebih utama serta harus diingat, aku sangat
bersyukur punya suami yang begitu istimewa. Saat aku lelah, saat kesabaranku
menurun seperti ini, saat aku tampak gundah karena kebelum-beradaan buah hati, dia
selalu menyejukkan dan mencerahkanku lewat ucap katanya.
“Setiap dari manusia punya masalah masing-masing,” tutur Mas Hamdan.
“Ada yang risau karena tak kunjung bertemu jodoh. Yang berjodoh, galau karena tak juga menimang anak. Yang punya anak, ada yang sedih sebab ia dilahirkan cacat. Atau, anaknya justru menjadi sumber celaka, durhaka pada orangtuanya.
“Ada yang risau karena tak kunjung bertemu jodoh. Yang berjodoh, galau karena tak juga menimang anak. Yang punya anak, ada yang sedih sebab ia dilahirkan cacat. Atau, anaknya justru menjadi sumber celaka, durhaka pada orangtuanya.
“Jangan cemas. Jangan bersedih, istriku. Jangan bahkan merasa
menjadi yang paling merana di dunia. Tidakkah kita malu atas hal kecil ini? Segala perkara sepatutnya kita serahkan penuh pada Allah. Kita harus sabar, dan
kita syukuri sisi yang lain.
“Tidakkah juga kita malu dengan saudara-saudara kita lainnya? Yang olehNya mereka ditimpa cobaan yang
jauh lebih dahsyat, namun mereka kukuh
tegar dan sabar.
“Masalah adalah hal yang mutlak keberadaanya, istriku. Selalu menyandingi manusia di tiap jengkal lintasan hidupnya. Masalah
selalu ada di mana pun wajah kita menghadap. Masalah, dia adalah kepastian. Sedangkan
menghadapinya, bersabar, dan bersyukur, adalah pilihan kita.
“Suatu perkara, kadang kita tak tahu apakah itu petaka atau malah
karunia. Kita hanya perlu selalu berprasangka baik kepada Allah.”
mlg/31/8/14
Hari jum’at
kemarin, saya melakukan perjalanan ke beberapa titik dusun di dua kecamatan di
kabupaten Malang. Bersama rombongan dari YDSF (Yayasan Dana Sosial
al-Falah) Malang yang berjumlah lima orang, kami tancap gas dari kota menuju
kabupaten sekitar jam sembilan pagi. Dengan bertunggangan mobil, sekitar jam
sepuluh kami tiba di kecamatan kromengan, yang kemudian di lanjutkan di
kecamatan Wonosari.
Di
Kromengan, pada mulanya kami menemui salah satu da’i mitra kami yang bermukim
di dekat sana. Da’i tersebut bertindak sebagai guide selama survei, karena
dialah yang paham dan bisa membantu kami menunjukkan arah dan tempat titik
dusun yang kami targetkan.
Survei yang
kami lakukan adalah berkaitan dengan kegiatan salur hewan qurban yang akan
diadakan YDSF Malang saat momen Idul Adha awal bulan Oktober kelak. Survei kami
lakukan dengan menemui beberapa tokoh masyarakat di sana. Perlunya kami
mengunjungi tokoh tersebut adalah agar kami bisa meminta data sosial-ekonomi
penduduk setempat. Dengan adanya survei, kami bisa mengetahui keadaan
penduduk suatu daerah, berapa jumlahnya, apa mata pencahariannya, seberapa
pendapatannya, dan lain sebagainya. Setelah mengetahui data tersebut,
selanjutnya kami jadikan sebagai ukuran dalam menentukan layak-tidaknya daerah
tersebut untuk kegiatan salur hewan qurban.
Sekitar
delapan jam kami habiskan waktu untuk melakukan penelusuran di beberapa titik
dusun di dua kecamatan Malang Selatan ini, Kromengan dan Wonosari. Memang, kali
ini rentang waktu untuk survei tak seberapa panjang. Kadang kami sampai harus
menginap di rumah warga bila survei menghabiskan waktu dua atau tiga hari
berturutan.
Untuk
menyalurkan ratusan hewan qurban secara tepat sasaran, kami perlu melakukan
survei ke puluhan titik daerah pelosok di kabupaten Malang, sehingga kami bisa
mengetahui daerah mana yang sangat membutuhkan dan layak untuk mendapatkan
bantuan daging qurban.
Di samping
kehidupan masyarakat kota yang rata-rata berkecukupan bahkan mewah, ternyata masih
banyak saudara kita di desa yang perlu uluran bantuan kita. Banyak dari mereka
tergolong tidak mampu dan tinggal di daerah pelosok, yang kadang untuk
meniliknya perlu melalui jalan yang terjal, berliku, dan sulit untuk diakses
dengan kendaraan bermotor. Bahkan saat kami melakukan survei tahun 2013 lalu,
dari mereka ada yang perkampungannya belum teraliri listrik.
Ada banyak
momen berharga tiap saya mengikuti survei seperti ini. Salah satunya, saya bisa
mengetahui keadaan keluarga yang kurang mampu dari segi materi, bagaimana
mereka berjuang banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya, bagaimana mereka
memeras keringat namun hasilnya cuma setara sesuap nasi, bagaimana mereka bisa
selalu bahagia dan bersyukur dengan kesederhanaan yang mereka punya, dan masih
banyak lagi hal berharga lainnya yang saya dapatkan.
Setiap
survei adalah salah satu pengalaman berharga bagi saya. Satu lagi yang berkesan
saat survei kemarin yang ingin saya ceritakan adalah ketika kami berhenti
sejenak di salah satu masjid, lokasinya sekitar 20 meter dari SMP Dharmawanita
09 Kromengan. Kala hari jum’at itu, jam tangan saya menunjukkan angka
setengah dua belas, pertanda waktu salat Jum’at. Tepat adzan berkumandang,
saya dan tim survei mengambil air wudhu. Selanjutnya kami memasuki masjid.
Tampak di
dalam masjid, duduk bersila beberapa jama’ah, sekitar tiga puluhan jumlahnya,
termasuk beberapa darinya anak-anak kecil yang meringis bercanda di baris
paling belakang. “Sedikit sekali jama’ahnya,” gumam saya dalam hati. Saya
kemudian mengerjakan salat sunnah dan setelahnya duduk tenang mendengarkan
ceramah Jum’at.
Di atas
mimbar, terlihat sosok berbaju putih bersih dengan menggunakan sarung dan
berkopyah. Kulitnya berkeriput. Sorot matanya teduh tatkala bapak khotib itu
berkhutbah dengan nada suaranya yang berkelok khas orang tua, tapi jelas dan
anggun.
Beberapa
menit berlalu. Di tengah ceramahnya, bapak itu diam sejenak.
Tes..
Setelah saya amati, terdapat kilauan air di pipinya. Ternyata beliau meneteskan
air mata.
Di sepanjang
bagian akhir pidatonya, jeda demi jeda semakin terasa. Tetes air matanya
semakin menjadi. Pidatonya pun sesekali agak terbata layaknya orang yang
menahan tangis kala bicara. Saya terus mencermatinya. Beliau tampak ingin
memberi penekanan atas tiap jeda yang muncul sepanjang akhir khutbahnya. Seakan
ingin memberitahu para jama’ah, “Hei, ini adalah perkara penting. Perhatikan!”
Dari kilau
mata dan getar mulutnya, semakin jelas bahwa bapak khotib itu mengharap sangat
kepada para jama’ah agar tidak hanya sekedar mendengarkan khutbahnya, tapi juga
meresapi, mencamkan, dan mengamalkannya. Sudah sering saya mendengarkan khutbah
jum’at dengan retorika yang menggelora, namun baru pertama ini saya
mendengarkan khutbah diiringi isak tangis. SubhaanaAllah.
Isi khutbah bapak
itu, yang sampai membawanya dalam tangis penuh ketaqwaan, yang juga benar-benar
menghantam hati saya hingga membuat saya malu atas diri sendiri, adalah tentang
pentingnya salat. Salat yang tidak hanya sekedar salat, tapi salat dengan
khusuk penuh penghayatan. Salat yang penuh rasa takut serta mengharap ampun
kepada Allah. Salat yang nyatanya merupakan ibadah paling utama yang begitu
menentukan baik-buruknya amalan lain kita.
Beliau juga
menjelaskan bahwa bila salat kita sempurna, sempurna dalam syarat, rukun dan
khusuknya, maka selayaknya kita akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Sehingga, jika kita merasa sudah menegakkan salat lima waktu dan melengkapinya
dengan salat sunnah tapi masih saja melakukan maksiat, maka tentunya ada masalah
dengan salat kita. Ada sela yang masih perlu kita benahi. Karena jangan-jangan
salat kita belum sempurna. Belum benar sesuai dengan yang disyariatkan Islam.
Jangan-jangan salat kita belum khusuk. Sehingga belum bisa menjadi benteng
kokoh untuk melindungi kita dari kemungkaran dan kemaksiatan.
mlg/6/9/14
Kakek
penjual amplop.
Perbungkus isinya sepuluh amplop, dijualnya sepuluh ribuan.
Diambilnya keuntungan tak sampai tiga ratus rupiah untuk tiap bungkusnya, bukan tiap amplop.
Kakek itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa.
Kalaupun terjual sepuluh bungkus amplop, keuntungannya tak sampai cukup untuk membeli nasi bungkus jalanan.
Lebih-lebih, siapa hari gini yang mau membeli banyak amplop.
mlg/2/9/14/*diadaptasi dari kisah nyata "Bapak Tua Penjual Amplop Itu" oleh Bapak Rinaldi Munir
Perbungkus isinya sepuluh amplop, dijualnya sepuluh ribuan.
Diambilnya keuntungan tak sampai tiga ratus rupiah untuk tiap bungkusnya, bukan tiap amplop.
Kakek itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa.
Kalaupun terjual sepuluh bungkus amplop, keuntungannya tak sampai cukup untuk membeli nasi bungkus jalanan.
Lebih-lebih, siapa hari gini yang mau membeli banyak amplop.
mlg/2/9/14/*diadaptasi dari kisah nyata "Bapak Tua Penjual Amplop Itu" oleh Bapak Rinaldi Munir
gelaran
sajadah di atas lantai yang mengkilat
kududuk
khusyuk dengan bersila
menengadahkan
kedua tangan nan saling merapat
di sunyi
malam yang senyap
seusai shalat sunnah
seusai shalat sunnah
bibir
bergumam lirih, memanjatkan doa
pandang
mataku menunduk, perlahan memburam
pikiranku
terbang..terbayang sosok yang begitu istimewa, Ibuku
Allah,
limpahi
kesehatan, keselamatan, serta umur yang cukup untuk Ibu
mudahkan ia
untuk memanfaatkan nikmatMu itu, juga nikmatMu yang melimpah lainnya,,
untuk menggunakannya dengan sebaik-baik pengggunaan
untuk menggunakannya dengan sebaik-baik pengggunaan
untuk
mendekati yang ma'ruf menjauhi yang mungkar
untuk
bekerja berasas halal lagi manfaat, beramal dengan ikhlas
untuk
peningkat iman dan taqwa
sebagai
sarana ibadah, dakwah, dan jihad di jalanMu
lindungi ia
dari marabahaya
lindungi
dari kejahatan manusia, godaan setan, dan fitnah masiihi ad-dajjaal
jauhkan dari apa-apa yang Engkau benci dan yang Engkau larang
jauhkan dari apa-apa yang Engkau benci dan yang Engkau larang
bersihkan
hatinya dari sifat-sifat buruk
tuangi
hatinya dengan sikap ikhlas dalam memberi, serta sabar-syukur dalam menerima
bahagiakan
ia lewat baktiku kepadanya
dan kabulkan
doa-doa yang ia lantunkan
Robbii
ighfirlii waliwaalidaiya
wa
irhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
Robbanaa,
aatinaa
fiddunyaa
hasanah
wa fil
aakhiroti hasanah
wa qinaa
'adzaaba an-naar
mlg/28/8/14
mlg/28/8/14
Alhamdulillah,
sekali lagi, saya berkesempatan untuk mengikuti spiritual gathering ustadz
Yusuf Mansur tadi malam. Pada awalnya acara ini direncanakan bertempat di Dom
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang kemudian dipindahkan di area
perumahan Permata Jingga, tepatnya di lapangan luas depan masjid baru bernama
Cahyaning Ati yang sekaligus diresmikan di acara tersebut.
Di lembar
tiket yang sudah saya pegang, tertulis bahwa acara dimulai pukul 19.00 WIB.
Maka usai shalat isya', saya langsung bergegas menuju lokasi acara yang
diadakan Darul Qur'an (PPPA) tersebut. Sekitar jam setengah delapan, saya
sampai di tempat acara.
Malam itu, sebagaimana malam-malam beberapa hari belakangan ini di Malang, udara terasa dingin. Suasana pun semakin semriwing dengan desir angin yang menyelimutinya. Namun dinginnya malam kala itu ternyata tidak menyurutkan semangat untuk hadir. Terbukti dengan banyaknya peserta dari berbagai kalangan masyarakat yang datang memadati lapangan tersebut. Saya kagum. Semangat mereka pastinya berbalut niatan ibadah dan menuntut ilmu.
Malam itu, sebagaimana malam-malam beberapa hari belakangan ini di Malang, udara terasa dingin. Suasana pun semakin semriwing dengan desir angin yang menyelimutinya. Namun dinginnya malam kala itu ternyata tidak menyurutkan semangat untuk hadir. Terbukti dengan banyaknya peserta dari berbagai kalangan masyarakat yang datang memadati lapangan tersebut. Saya kagum. Semangat mereka pastinya berbalut niatan ibadah dan menuntut ilmu.
Tak lama, sekitar sepuluh menit setelah saya menunggu, ustadz Yusuf muncul memulai tausiahnya di atas panggung yang disiapkan panitia. Tampak juga istri beliau berada di atas panggung. Ibu Maimunah berada tepat di belakang beliau. Saat itu saya agak kurang bisa melihat beliau dengan jelas karena posisi saya yang agak jauh dari panggung, sekitar 15 meter. Namun saya cukup dimudahkan dengan adanya layar proyektor besar yang berdiri tegak di sebelah kiri panggung, sehingga saya bisa mendengarkan tausiah sembari melihat wajah beliau.
Dalam ceramahnya, ustadz Yusuf mengangkat tema menaikkan kompetensi diri. Menerut beliau, hal ini sangat mendasar dan penting, mengingat bahwa kita sebagai muslim sekaligus bangsa Indonesia sudah sering kali diremehkan oleh bangsa dan agama lain. Banyak citra buruk yang kita sandang; kecil, kelas bawah, pemalas, koruptor, sarang teroris, dan lain sebagainya.
Yang menjadi titik fokus adalah bukan perkara 'mereka' dan apa kata mereka, tapi fokus pada 'kita' sendiri. Kita memang perlu introspeksi diri. Siapa tahu apa yang mereka capkan pada kita memang salah kita sendiri. Kita dianggap kecil, mungkin saja karena memang mental kita kecil. Kita diinjak-injak, mungkin saja memang kita pantas menjadi rumput yang selayaknya di bawah, diinjak dengan seenaknya. Namun, kita tidak perlu marah kepada mereka. Fokus kita adalah diri sendiri. Bagaimana kita memantaskan diri agar benar-benar berkelas di mata luar, bermutu dan besar. Kita memang perlu memperbaiki kualitas diri. Dan untuk mencapai hal tersebut, kita harus mulai dari hal yang kecil. Karena sesuatu yang besar pastinya berasal dari kecil, dan proses adalah pelengkapnya.
Menurut ustadz Yusuf, hal yang kecil yang bisa kita mulai untuk perbaiki adalah perkara manajemen waktu. Salah satu kebiasaan buruk kita adalah menyepelekan waktu setelah shalat subuh. Banyak dari kita yang tidur setelah subuh. Padahal seharusnya kita bisa memanfaatkannya dengan mengisi kegiatan, semisal baca buku, bekerja, menghafal ayat Al-Qur'an, atau kegiatan bermanfaat lainnya.
Taruhlah misal, untuk tidur setelah subuh, kita menghabiskan waktu sekitar dua jam. Kelihatannya sepele. Tapi coba kalau kita seperti itu setiap hari. Dalam satu tahun (365 hari) kita sudah membuang waktu sebanyak 760 jam! Belum lagi kalau kita tambahkan dengan waktu lain yang juga kita sia-siakan, seperti nogkrong yang tidak ada nilai manfaatnya, menonton sinetron, iklan televisi, dan lain sebagainya. Patut kita sadari bahwa ribuan jam sudah kita habiskan secara sia-sia, tidak ada nila manfaatnya. Bagaimana mau jadi pribadi yang berbeda, pribadi yang berkelas dan berkualitas, kalau hal yang kecil saja kita tak mau perhatikan?
Seperti itulah singkat tausiah ustadz Yusuf. Sebenarnya, ada banyak hal yang disampaikan beliau pada saat itu. Namun secuil poin di atas adalah yang paling mengena buat saya. Saya serasa ditampar keras. Bagaimana tidak, saya merasa termasuk orang yang lalai dalam waktu. Tidur setelah subuh adalah kegiatan yang sering saya lakukan. Jangankan tidur setelah subuh, shalat subuh pun saya masih terkadang terlambat. Saya malu pada diri saya. Astaghfirullah.
Selama ustadz Yusuf berceramah, sesekali beliau mempersilahkan beberapa peserta untuk menyampaikan pertanyaan ataupun unek-uneknya. Memang tidak ada alokasi waktu khusus untuk sesi tanya-jawab, begitu pula jumlahnya. Kesempatan bertanya diberikan begitu saja. Bahkan saat ada seseorang yang mengangkat tangannya untuk bertanya ditengah beliau sedang berbicara, beliau mempersilahkannya. Begitulah gaya beliau, serius tapi santai.
Di akhir ceramah, ustadz Yusuf berdo'a bersama para peserta. Beliau juga mengingatkan peserta agar selalu membiasakan bersedekah. Karena sedekah mempunyai banyak keutamaan, seperti mendulang pahala, mensucikan jiwa, bekal di akhirat, menambah rizki, dan bahkan mampu mengubah takdir.
mlg/15/8/14
Kau bertanya
risih?
Aku tidak
risih dengan apa yang kupakai.
Kudapat
ketenangan dan rasa aman.
Justru,
risih kurasakan saat ada yang mengatakanku menyimpang.
Tidak, tidak
hanya sekedar risih, aku bahkan menangis.
Dadaku
terasa sesak.
Sungguh
sedih, sampai seakan aku tak lagi bisa berkata-kata, karena mereka yang
menuduhku menyimpang adalah saudaraku sendiri, saudara seiman, seislam!
Kau berkata
aneh?
Biarlah kau
katakan aneh, norak, atau kuno.
Atau, bahkan
sekalipun akan kau katakan teroris?
Aku hanya
berusaha meniti jalan atas petunjuk Allah, tertata dalam kalamNya di Al-Qur’an,
dan Al-Hadits, serta yang terpancar di tiap tindak-sikap Rasulullah Muhammad.
Kau berkata
budaya Arab?
Sekalipun
bila benar, kuletakkan budaya dibawah syari’at.
Kurangkul
budaya bila selaras, dan kulepas bila ia bertolak darinya.
Namun,
adakah Arab menerapkan budaya itu sebelum zaman Rasulullah Muhammad?
Kau berkata
terbelenggu?
Aku tak
terbelenggu. Justru nyaman.
Aku juga tak
melanggar hak asasiku sebagai wanita.
Mungkinkah
aku melanggarnya? Sedangkan kulakukan ini dengan sukarela dan ketaqwaan
terhadap Tuhanku.
Tak perlu
kau risih denganku.
Bukankah kau
pengagung-agung toleransi?
Maka hargai
dan biarkan aku memakainya.
Aku tak
merasa caraku adalah yang paling benar, sungguh tidak.
Memakai
ataupun tak memakainya, ikhtilaf yang ada semoga berbuah pahala atas ijtihadnya
masing-masing.
Asalkan
julurkan jilbab, saudariku. Bukan malah enggan memakainya.
Akankah kau
terus memperhatikanku dengan penuh waswas seraya mengernyitkan dahi? Sedangkan
banyak di sekelilingmu yang justru jelas-jelas melanggar syari’at. Mereka yang
tak jua berhijab.
mlg/8/8/14
"Hai,
masih ingatkah kau denganku? Aku, Cinta."
"Cinta?"
Ia menyapaku dalam hening.
"Cinta?"
Ia menyapaku dalam hening.
Cinta. Dia kembali datang menghampiriku. Lama tak jumpa. Tapi aku tak menginginkannya. Kalaupun harus datang, setidaknya perlu ada jeda waktu. Aku tak mengharapnya menampak tiba-tiba seperti ini. Ada sesuatu yang masih perlu aku tenangkan, perlu aku tata: hati.
"Jangan
bersedih," katanya, "aku datang dengan warna berbeda."
"Oh,
warna berbeda.." kutanggapi dengan sedikit takjub.
Perlahan,
aku lega dalam batin. Dia tahu, bahwa
kedatangannya yang dulu membuatku sejenak riang namun pada akhirnya membuatku jatuh sedih.
"Kali
ini aku mengharapmu membahagiakanku, tanpa sedikitpun kesedihan. Bisakah?"
sorot mataku tajam memohon.
"Baik,
meski aku tak janji," jawabnya, dan seraya meyakinkanku, "tapi,
tersenyumlah. Karena aku akan berusaha."
Simpul
senyum bibirku, merekah. Tersirat bahagia. Sekalipun aku tak mengelak pernah terbekas gores pilu. Aku kukuh menaruh harap. Mengharapnya untuk benar-benar memberiku kebahagiaan
yang tak lagi semu.
"Bahagiakanlah
aku! Bahagiakan aku, Cinta! Sekalipun aku tahu sikap ini egois. Maaf. Biarkan untuk
kali ini saja," bisikku.
Bahagiakan aku, meskipun kutahu logika dan perasaanku akan kembali bertarung hebat.
Bahagiakan aku, meskipun kutahu logika dan perasaanku akan kembali bertarung hebat.
mlg/7/8/14