tangan menengadah

gelaran sajadah di atas lantai yang mengkilat
kududuk khusyuk dengan bersila
menengadahkan kedua tangan nan saling merapat
di sunyi malam yang senyap
seusai shalat sunnah

bibir bergumam lirih, memanjatkan doa
pandang mataku menunduk, perlahan memburam
pikiranku terbang..terbayang sosok yang begitu istimewa, Ibuku

Allah,
limpahi kesehatan, keselamatan, serta umur yang cukup untuk Ibu
mudahkan ia untuk memanfaatkan nikmatMu itu, juga nikmatMu yang melimpah lainnya,,
untuk menggunakannya dengan sebaik-baik pengggunaan
untuk mendekati yang ma'ruf menjauhi yang mungkar
untuk bekerja berasas halal lagi manfaat, beramal dengan ikhlas
untuk peningkat iman dan taqwa
sebagai sarana ibadah, dakwah, dan jihad di jalanMu

lindungi ia dari marabahaya
lindungi dari kejahatan manusia, godaan setan, dan fitnah masiihi ad-dajjaal
jauhkan dari apa-apa yang Engkau benci dan yang Engkau larang

bersihkan hatinya dari sifat-sifat buruk
tuangi hatinya dengan sikap ikhlas dalam memberi, serta sabar-syukur dalam menerima
bahagiakan ia lewat baktiku kepadanya
dan kabulkan doa-doa yang ia lantunkan

Robbii ighfirlii waliwaalidaiya
wa irhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

Robbanaa,
aatinaa
fiddunyaa hasanah
wa fil aakhiroti hasanah
wa qinaa 'adzaaba an-naar


mlg/28/8/14
kosa kata bahasa arab

naik tangga di langit

Alhamdulillah, sekali lagi, saya berkesempatan untuk mengikuti spiritual gathering ustadz Yusuf Mansur tadi malam. Pada awalnya acara ini direncanakan bertempat di Dom Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang kemudian dipindahkan di area perumahan Permata Jingga, tepatnya di lapangan luas depan masjid baru bernama Cahyaning Ati yang sekaligus diresmikan di acara tersebut.

Di lembar tiket yang sudah saya pegang, tertulis bahwa acara dimulai pukul 19.00 WIB. Maka usai shalat isya', saya langsung bergegas menuju lokasi acara yang diadakan Darul Qur'an (PPPA) tersebut. Sekitar jam setengah delapan, saya sampai di tempat acara.

Malam itu, sebagaimana malam-malam beberapa hari belakangan ini di Malang, udara terasa dingin. Suasana pun semakin semriwing dengan desir angin yang menyelimutinya. Namun dinginnya malam kala itu ternyata tidak menyurutkan semangat untuk hadir. Terbukti dengan banyaknya peserta dari berbagai kalangan masyarakat yang datang memadati lapangan tersebut. Saya kagum. Semangat mereka pastinya berbalut niatan ibadah dan menuntut ilmu.

Tak lama, sekitar sepuluh menit setelah saya menunggu, ustadz Yusuf muncul memulai tausiahnya di atas panggung yang disiapkan panitia. Tampak juga istri beliau berada di atas panggung. Ibu Maimunah berada tepat di belakang beliau. Saat itu saya agak kurang bisa melihat beliau dengan jelas karena posisi saya yang agak jauh dari panggung, sekitar 15 meter. Namun saya cukup dimudahkan dengan adanya layar proyektor besar yang berdiri tegak di sebelah kiri panggung, sehingga saya bisa mendengarkan tausiah sembari melihat wajah beliau.

Dalam ceramahnya, ustadz Yusuf mengangkat tema menaikkan kompetensi diri. Menerut beliau, hal ini sangat mendasar dan penting, mengingat bahwa kita sebagai muslim sekaligus bangsa Indonesia sudah sering kali diremehkan oleh bangsa dan agama lain. Banyak citra buruk yang kita sandang; kecil, kelas bawah, pemalas, koruptor, sarang teroris, dan lain sebagainya.

Yang menjadi titik fokus adalah bukan perkara 'mereka' dan apa kata mereka, tapi fokus pada 'kita' sendiri. Kita memang perlu introspeksi diri. Siapa tahu apa yang mereka capkan pada kita memang salah kita sendiri. Kita dianggap kecil, mungkin saja karena memang mental kita kecil. Kita diinjak-injak, mungkin saja memang kita pantas menjadi rumput yang selayaknya di bawah, diinjak dengan seenaknya. Namun, kita tidak perlu marah kepada mereka. Fokus kita adalah diri sendiri. Bagaimana kita memantaskan diri agar benar-benar berkelas di mata luar, bermutu dan besar. Kita memang perlu memperbaiki kualitas diri. Dan untuk mencapai hal tersebut, kita harus mulai dari hal yang kecil. Karena sesuatu yang besar pastinya berasal dari kecil, dan proses adalah pelengkapnya.

Menurut ustadz Yusuf, hal yang kecil yang bisa kita mulai untuk perbaiki adalah perkara manajemen waktu. Salah satu kebiasaan buruk kita adalah menyepelekan waktu setelah shalat subuh. Banyak dari kita yang tidur setelah subuh. Padahal seharusnya kita bisa memanfaatkannya dengan mengisi kegiatan, semisal baca buku, bekerja, menghafal ayat Al-Qur'an, atau kegiatan bermanfaat lainnya.

Taruhlah misal, untuk tidur setelah subuh, kita menghabiskan waktu sekitar dua jam. Kelihatannya sepele. Tapi coba kalau kita seperti itu setiap hari. Dalam satu tahun (365 hari) kita sudah membuang waktu sebanyak 760 jam! Belum lagi kalau kita tambahkan dengan waktu lain yang juga kita sia-siakan, seperti nogkrong yang tidak ada nilai manfaatnya, menonton sinetron, iklan televisi, dan lain sebagainya. Patut kita sadari bahwa ribuan jam sudah kita habiskan secara sia-sia, tidak ada nila manfaatnya. Bagaimana mau jadi pribadi yang berbeda, pribadi yang berkelas dan berkualitas, kalau hal yang kecil saja kita tak mau perhatikan?

Seperti itulah singkat tausiah ustadz Yusuf. Sebenarnya, ada banyak hal yang disampaikan beliau pada saat itu. Namun secuil poin di atas adalah yang paling mengena buat saya. Saya serasa ditampar keras. Bagaimana tidak, saya merasa termasuk orang yang lalai dalam waktu. Tidur setelah subuh adalah kegiatan yang sering saya lakukan. Jangankan tidur setelah subuh, shalat subuh pun saya masih terkadang terlambat. Saya malu pada diri saya. Astaghfirullah.

Selama ustadz Yusuf berceramah, sesekali beliau mempersilahkan beberapa peserta untuk menyampaikan pertanyaan ataupun unek-uneknya. Memang tidak ada alokasi waktu khusus untuk sesi tanya-jawab, begitu pula jumlahnya. Kesempatan bertanya diberikan begitu saja. Bahkan saat ada seseorang yang mengangkat tangannya untuk bertanya ditengah beliau sedang berbicara, beliau mempersilahkannya. Begitulah gaya beliau, serius tapi santai.

Di akhir ceramah, ustadz Yusuf berdo'a bersama para peserta. Beliau juga mengingatkan peserta agar selalu membiasakan bersedekah. Karena sedekah mempunyai banyak keutamaan, seperti mendulang pahala, mensucikan jiwa, bekal di akhirat, menambah rizki, dan bahkan mampu mengubah takdir.


mlg/15/8/14

hijab cadar

Kau bertanya risih?
Aku tidak risih dengan apa yang kupakai.
Kudapat ketenangan dan rasa aman.
Justru, risih kurasakan saat ada yang mengatakanku menyimpang.
Tidak, tidak hanya sekedar risih, aku bahkan menangis.
Dadaku terasa sesak.
Sungguh sedih, sampai seakan aku tak lagi bisa berkata-kata, karena mereka yang menuduhku menyimpang adalah saudaraku sendiri, saudara seiman, seislam!

Kau berkata aneh?
Biarlah kau katakan aneh, norak, atau kuno.
Atau, bahkan sekalipun akan kau katakan teroris?
Aku hanya berusaha meniti jalan atas petunjuk Allah, tertata dalam kalamNya di Al-Qur’an, dan Al-Hadits, serta yang terpancar di tiap tindak-sikap Rasulullah Muhammad.

Kau berkata budaya Arab?
Sekalipun bila benar, kuletakkan budaya dibawah syari’at.
Kurangkul budaya bila selaras, dan kulepas bila ia bertolak darinya.
Namun, adakah Arab menerapkan budaya itu sebelum zaman Rasulullah Muhammad?

Kau berkata terbelenggu?
Aku tak terbelenggu. Justru nyaman.
Aku juga tak melanggar hak asasiku sebagai wanita.
Mungkinkah aku melanggarnya? Sedangkan kulakukan ini dengan sukarela dan ketaqwaan terhadap Tuhanku.

Tak perlu kau risih denganku.
Bukankah kau pengagung-agung toleransi?
Maka hargai dan biarkan aku memakainya.

Aku tak merasa caraku adalah yang paling benar, sungguh tidak.
Memakai ataupun tak memakainya, ikhtilaf yang ada semoga berbuah pahala atas ijtihadnya masing-masing.

Asalkan julurkan jilbab, saudariku. Bukan malah enggan memakainya.

Akankah kau terus memperhatikanku dengan penuh waswas seraya mengernyitkan dahi? Sedangkan banyak di sekelilingmu yang justru jelas-jelas melanggar syari’at. Mereka yang tak jua berhijab.


mlg/8/8/14
cinta hati

"Hai, masih ingatkah kau denganku? Aku, Cinta."

"Cinta?"

Ia menyapaku dalam hening.

Cinta. Dia kembali datang menghampiriku. Lama tak jumpa. Tapi aku tak menginginkannya. Kalaupun harus datang, setidaknya perlu ada jeda waktu. Aku tak mengharapnya menampak tiba-tiba seperti ini. Ada sesuatu yang masih perlu aku tenangkan, perlu aku tata: hati.

"Jangan bersedih," katanya, "aku datang dengan warna berbeda."

"Oh, warna berbeda.." kutanggapi dengan sedikit takjub. 

Perlahan, aku lega dalam batin. Dia tahu, bahwa kedatangannya yang dulu membuatku sejenak riang namun pada akhirnya membuatku jatuh sedih.

"Kali ini aku mengharapmu membahagiakanku, tanpa sedikitpun kesedihan. Bisakah?" sorot mataku tajam memohon.

"Baik, meski aku tak janji," jawabnya, dan seraya meyakinkanku, "tapi, tersenyumlah. Karena aku akan berusaha."

Simpul senyum bibirku, merekah. Tersirat bahagia. Sekalipun aku tak mengelak pernah terbekas gores pilu. Aku kukuh menaruh harap. Mengharapnya untuk benar-benar memberiku kebahagiaan yang tak lagi semu.

"Bahagiakanlah aku! Bahagiakan aku, Cinta! Sekalipun aku tahu sikap ini egois. Maaf. Biarkan untuk kali ini saja," bisikku.

Bahagiakan aku, meskipun kutahu logika dan perasaanku akan kembali bertarung hebat.


mlg/7/8/14


Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home