akhwat ikhwan muslim muslimah

Kring!

Telepon genggamku berbunyi, tepat setelah Silvi selesai mencium punggung tangan kananku untuk berpamitan. Dia bersama teman-teman lainnya seketika berhamburan. Berjalan riang cekikian. Mereka bergegas pulang menuju rumah masing-masing.

Pesanan sudah sampai rumah, Mbak. Terimakasih.

Aku memandangi layar teleponku. Tersenyum. Satu pesan singkat baru saja mendarat. Kubaca. Paket berisi sepuluh potong kerudung akhirnya sampai di tangan pembeli asal Kota Padang. Alhamdulillah. sebenarnya aku cukup kuatir. Aku kira akan ada kendala dalam pengiriman antarpulau kali ini karena kabut asap yang sedang melanda beberapa kota di Sumatera maupun Kalimantan.

“Mas, masih di pasar? Udah selesai belanja kainnya? Ini aku udah mau ke rumah. Cepat pulang, ya! Hati-hati di jalan! Aku tunggu.”

Segera kukirim pesan pendek kepada Mas Danang yang mungkin masih bergumul dengan ramai para pembeli. Sebenarnya tadi aku ingin ikut, menemaninya berburu bahan dasar pembuatan produk kerudung dan gamis bisnis kami. Namun dia tak mengizinkan. “Ndak usah. Kamu di rumah aja, ya. Toh nanti sore kan kamu ada tugas ngajar anak-anak,” katanya.

Menjadi sales promotion girl di sebuah brand rokok saat masa kuliah, kemudian berpindah menjabat teller di salah satu bank swasta setelah wisuda sampai sebulan pascanikah. Dua pengalaman itu sekelebat terkenang. Terkadang merasa heran, bisa-bisanya aku dulu merasa nyaman menggelutinya. Tapi biarlah, masa lalu itu sudah nyata berlalu.

Semoga Allah memberi ganti pekerjaan yang lebih baik, yang produk dan sistemnya halal, serta tak mengandung unsur keburukan, bahaya, ataupun riba.

Aku teringat nasihat itu.

Dan perkara ingin membantu suami mencari nafkah, maka syaratnya tidak melupakan tanggung jawab keluarga. Sebab oleh Nabi Muhammad, dikatakan bahwa raiyatun fi baiti zaujiha: bahwa istri sebagai pemimpin, pengatur, serta penjaga rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. tutup tutur ustadz pembimbingku, kala aku berkonsultasi kepadanya terkait profesiku saat itu.

Kini, aku mantap dengan aktifitasku: menjadi guru ngaji dan partner wirausaha Mas Danang. Senang sekali bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat serta tanpa terkekang oleh ikatan waktu sebagaimana kerja kantoran. Hari-hariku pun jauh lebih banyak di rumah. Nikmat ini benar-benar aku syukuri.

Kumasukkan handphone ke dalam tas kecilku. Kuletakkan dan kurapikan kembali beberapa kitab suci di sudut rak dekat jendela. Bangku-bangku kutepikan ke samping kanan-kiri ruangan. “Alhamdulillah, sore yang penuh berkah,” ucapku seraya keluar ruangan menuju teras depan. Sepeda pancal yang terparkir sendirian di sebelah timur tempat wudu itu sepertinya sudah tak sabar untuk dikayuh.

∙∙∙

Namaku Diana, seorang wanita yang sudah dikaruniai suami yang baik, dan berusaha pula menjadi istri yang baik.

Usia pernikahan kami baru setengah tahun. Masih baru memang. Namun rasanya sudah banyak warna kehidupan yang telah kami ronai.

Aku mualaf. Resmi memeluk Islam sebulan sebelum pernikahanku dengan Mas Danang. Orangtua serta keluargaku sempat menolak keras atas keinginanku beralih keyakinan, lebih-lebih mereka tergolong nonmuslim yang taat beragama. Namun Islam terlanjur mengambil hatiku sejak dulu, sejak aku duduk di bangku sekolah bersegaram putih abu-abu.

Aku tetap teguh, serta sedikit demi sedikit kucoba lelehkan hati keluargaku. Syukurlah berhasil. Perlahan orangtuaku luluh. Agama yang sempurna ini pun sempurna kurengkuh. Dan serasa tak percaya, berkah berlapis datang kepadaku tak lama setelah keislamanku. Aku dipinang oleh seorang pemuda, murid ustad pembimbingku.

“Apa yang membuatmu tertarik masuk Islam?” Mas Danang pernah bertanya kepadaku.

Sejatinya ada banyak hal dari Islam yang menjadikanku terkesan. Dan selain Al Quran, ada satu lagi yang paling menarik hati waktu itu.

Adalah hijab, kain lebar–terdiri dari kerudung dan gamis–ini setia menutupi hampir seluruh anggota tubuh para wanita muslimah, termasuk teman-temanku. Entah saat di sekolah maupun saat kegiatan lainnya di luar rumah. Kala mereka memakainya, aku justru melihat pancaran kecantikan dan keanggunan.

“Karena ini perintah,” jawab salah satu temanku dulu, saat aku bertanya kenapa ia dan teman-teman muslimah lainnya mengenakan hijab.

Ya, sekalipun berhijab terkadang baru disadari bahwa ia menjaganya dari pandangan serta gangguan lelaki. Sekalipun ia juga ternyata bisa melindunginya dari terik matahari ataupun dinginnya malam, dan deretan fungsi yang lain. Namun jawaban itulah yang memang patut diucap di awal: 'karena ini perintah’.

Karena perintah, maka manusia sebagai yang dicipta harus tunduk dan patuh terhadap yang mencipta. Karena perintah, maka itulah yang utama meskipun tabir padat manfaat atas apa yang diperintahkan itu yang lebih kentara. Maka itu pula yang mula-mula biarpun mungkin belum juga kita dapati kegunaannya. Karena ini perintah dari Sang Maha Pencipta, maka tak perlu ragu. Lakukan saja.

Sehingga jika sebaliknya, payah terasa sebuah perintah, maka tetap patut taat. Maka bila tiba berhijab terasa berat, terasa ribet saat mengenakan, terasa rambut terkusutkan, terasa panas dan menggerahkan, terasa pekerjaan terbebankan, maka kita tetap mengenakannya sembari tegas mengucap 'karena ini perintah'.

“.. Kemudian, apa yang meyakinkanmu menerima pinanganku? Terlebih bukankah aku sama sekali masih sebagai lelaki asing bagimu.”

Mendengarnya, saat itu aku sejenak tersenyum dan memandanginya, kemudian menggenggam erat tangannya. “Karena ketaatanmu pada Islam, Mas, dan baik budi pekertimu,” jawabku kepada Mas Danang.

“Hmm,, beneran? Emang tau dari mana?” Tanyanya semacam menggodaku.

“Ada deh!” Kulepas genggamanku dan kusahut dengan agak sebal. Namun seketika dia meraih tanganku, menjawatnya erat dan tertawa ringan.

∙∙∙

Tak sampai waktu magrib, aku sudah tiba di rumah. Mengendarai sepeda pancal hanya butuh waktu lima menit dari masjid kecil itu–tempat baru saja aku mengajar Al Quran–menuju kompleks tempat tinggalku.

Mas Danang belum terlihat batang hidungnya. Dia belum pulang dari aktifitas belanjanya di pasar. Rumah yang baru genap tiga pekan kami beli dan tempati ini pun masih sepi. Karena sekalipun dia sudah datang, maka hanya kami berdua penghuninya.

Maklum, pasangan muda ini memang sudah merindu hadirnya sang buah hati. Bila saja ayah-ibuku saat ini ada di sebelahku, mungkin–setelah kesekian kalinya–akan kembali berkata, “Makanya biar ndak sepi, sini balik sama bapak-ibu lagi.”

Dari enam bersaudara yang semuanya sudah menikah dan menetap di luar kota, aku satu-satunya anak perempuan. Anak terakhir pula. Maka tak heran orangtuaku sangat mengharapkanku–bersama suami–tinggal dengan mereka. Sekalipun tak sampai menjadi syarat, namun hal itu mereka ungkapkan sejak awal, sebelum aku menikah.

Namun setali tiga uang, demekian juga dari pihak Mas Danang. Orangtuanya ingin Mas Danang nantinya tinggal bersama keluarganya.

Maka bak terjadi tarik tambang antarkubu keluarga, mereka saling seret satu sama lain. Sehingga saat pertemuan antarfamili itu, selepas bincang-bincang penentuan hari akad dan resepsi, Mas Danang mengajukan sesuatu yang tak mengiyakan keduanya. Yakni bermukim sendiri.

Alhamdulillah. Sekian menit berdiskusi, akhirnya disetujui. “Terus, nantinya mau tinggal di mana? Apa sudah punya rumah?” tanya ayahku. “Entah, Pak. Rumah juga belum ada. Tapi urusan itu insyaallah mudah,” jawab Mas Danang pascalamaran.

“Sejatinya sejak awal dulu, aku pribadi memang berhasrat tinggal beratap sendiri,” cerita suamiku kepadaku suatu malam, tiga hari sesudah akad terucap.

“Benar adanya bahwa bersama orangtua, hadir pendampingan dan bimbingan bagi pasangan yang masih awal menikah. Bersama orangtua, datang bantuan dan manfaat bagi anaknya yang baru menjalani kehidupan rumah tangga. Saking sayangnya orangtua, seakan ingin selalu hadir di setiap urusan buah hatinya.”

“Namun bagaimanapun juga,” sambungnya kala dingin mulai merambat ke ruang tamu rumah kontrakan ala kadar yang kami huni, “layaknya sekapal dua nakhoda, kurang pas rasanya jika serumah berkeluarga ganda, dua kepemimpinan. Sangat rentan tumbuh pundi-pundi beda pendapat. Cukup mungkin muncul ‘perselisihan’ yang akan kuat menjalar dan merunyam. Dan biarpun bisa jadi tak sampai mencuat konflik terbuka, namun konflik batin sulit terelak, setidaknya bersemayam, yang siap-siap saja sewaktu-waktu meledak.”

“Betapapun juga, sekapal dua nakhoda cukup sensitif serta berkonsekuensi. Alangkah baiknya sebisa mungkin dihindari.”  

∙∙∙

Bergegas aku menuju kamar mandi. Waktunya membersihkan diri kemudian salat magrib.

Bada salat, aku melanjutkan menyiapkan hidangan. Rumah masih saja hening. Tak juga terdengar suara apapun tanda kehadiran seseorang. Layar telepon genggam yang dari tadi kutaruh sebelah talenan juga tetap saja redup, tak menampakkan sinar terang tanda ada kabar panggilan atau pesan pendek sekalipun.  

Ah, ini ya yang namanya cinta. Selalu menanti yang sejenak pergi. Jatuhnya kian rindu kala tak jua bersambut temu. Rasanya tak sabar segera menyambar, menyambut dia pulang. Kesannya sudah sekian pekan berpisah, padahal baru tadi pagi, yang itu cuma sekian jam saja.

Tok.. Tok.. Tok! Ketukan pintu depan rumah terdengar olehku yang masih sibuk di dapur.

“Assalamualaikum.” Suara yang tak asing terdengar.

“Waalaikumsalam.” Aku tersenyum seraya bergegas menghampirinya. Aku tahu itu dia. Mas Danang datang!



mlg/20/10/15
prajurit berperang membawa pedang

kosa kata bahasa arab

kartun naik kuda

kosa kata bahasa arab

akhwat muslimah

ibu,
marahlah kala aku bermalas-malas di kamar padahal waktu salat sudah terlewat
marahlah kala mataku terpaku televisi di rumah sedangkan di masjid aku tinggalkan jamaah
jangan hanya marah ketika tahu nilai raporku di sekolah tengah rendah
jangan hanya marah ketika aku kembali meminta uang jajan karena merasa kurang

ayah,
marahlah saat ibu keluar rumah tanpa menutup seluruh auratnya
marahlah saat mulut ibu bergairah membincangkan keburukan tetangga
jangan hanya mudah marah selagi secangkir kopi tak tersedia di pagi hari
jangan hanya bisa marah selagi selera tak sepadan dengan menu masakan yang terhidang

sekalipun harus marah,, ibu, ayah,
tetaplah berpayah untuk mengendalikan
tetaplah bersusah untuk meredamkan

sekalipun harus marah,
marahlah karena kepentingan agamamu
bukan atas kepentingan pribadimu



mlg/29/9/15
ibu anak muslim

kosa kata bahasa arab

kartun komik idul adha

dambo menyiram tumbuhan

kosa kata bahasa arab

ibu anak muslimah

kosa kata bahasa arab

kosa kata bahasa arab

kosa kata bahasa arab

kosa kata bahasa arab

ibu anak muslim

Senang rasanya kemarin bisa pulang ke kampung halaman. Bisa bertatap muka dengan keluarga. Menjumpai ibu, kakak sepupu, paman, bibi, tetangga, serta teman. Senang bisa bernostalgia dengan desa kecil di kawasan jalur pantai utara itu. Desa tempat saya lahir dan tumbuh. Desa yang menyimpan aneka kenangan. Yah,, meskipun pulang hanya sekilas: satu hari saja, tapi itu cukup memuaskan. Bersyukur.

Ada waktu ketika kesempatan pulang kampung rasanya menjadi bermakna lebih, sangat berkesan, tatkala saya meloncat mengingat empat belas tahun lalu, saat saya mulai mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Saat saya mengawali merasakan kehidupan di pesantren.

Ketertarikan menjadi santri pondok bermula saat saya mendekati akhir sekolah dasar (SD). Ada salah satu sahabat yang berceloteh bahwa dirinya setelah lulus SD akan melanjutkan studinya di pesantren. Dia mencoba sekenanya menggambarkan kehidupan menjadi santri di sana. Dari ceritanya, kedengarannya asyik. Kemudian dia menawarkan saya untuk ikut.

Saya tertarik. Dengan polosnya saya lansung memutuskan untuk ikut lanjut sekolah di pesantren, bersama sahabat saya tadi. Saya ungkapkan kepada ibu bahwa saya ingin mondok (tinggal dan belajar di pondok/pesantren). Saat itu ibu saya mengiyakan.

Ada yang bilang bahwa sungguh mulia keinginan saya untuk tinggal di pesantren, karena akan menjadi pribadi yang mandiri dan mendalami ilmu agama. Padahal sebenarnya ketika itu, pesantren hanya saya jadikan obyek "pelarian". Saya kira kegiatan pesantren hanya mengaji Quran, bebas dari matematika IPA IPS serta mata pelajaran umum lainnya (pelajaran yang saya jenuhkan saat SD). Nyatanya tidak seperti itu. Pelajaran umum maupun agama sama-sama ada di pesantren, bahkan sama-sama berporsi besar. Maka perkiraan saya melenceng dari kenyataanya.

Sekitar tiga pekan sebelum saya berangkat, ibu mulai menampakkan kekuatiran serta keberatannya. Mungkin karena berat di biaya (biaya masuk pesantren yang saya inginkan itu memang cukup tinggi bagi keluarga kami, dan kala itu saya belum menyadarinya), atau karena berat di perpisahan (ibu "hanya punya" saya, ayah meninggal ketika saya umur setahunan, dan saya anak tunggal). Namun reaksi ibu kala itu tak saya hiraukan, saya sudah terlanjur ingin tinggal di pesantren.

Pesantren itu berlokasi di Ponorogo, tepatnya di Desa Madusari. Mata saya terpana saat awal memasuki kawasan religius itu. Saya terhentak dengan suasananya yang berbeda dengan perkiraan saya. Berbeda jauh. Bayangan saya, pesantren itu identik dengan lingkungan yang sederhana dan tradisional. Namun nyatanya pesantren yang saya masuki ini memiliki kesan megah dan modern.

Saat memasuki gerbang, kaki saya mulai melangkah-langkah. Pandangan saya tak henti menyusuri tiap sudut pesantren. Areanya sangat luas; santrinya ribuan bertebaran; gedung-gedung rapih bertingkat; masjidnya indah dan besar; ada aneka kantin serta toko berserakan melayani kebutuhan keseharian santri; tersedianya minimarket; terbentang taman yang indah; berbagai jenis lapangan olahraga; dapur yang lebar; dan banyak lainnya. Saat itu saya memang tak menyangka ada pesantren yang begitu besar seperti ini. Saya baru sadar bahwa saya berada di pesantren modern yang memiliki banyak cabang di Indonesia, bahkan katanya terbesar se-Asia Tenggara.

Namun megahnya pesantren tak seketika berbanding lurus dengan kenyamanan santri yang menghuninya (setidaknya itulah yang saya dan sahabat saya rasakan, tentunya seiya dengan sebagian besar santri lain). Kami merasa tidak nyaman. Kami masih kaget dengan suasana pesantren yang sangat berbeda dengan rumah serta kampung halaman. Kami merasa tidak kerasan meski selama awal tiga hari kami masih ditemani orangtua. Waktu itu saya juga sempat merengek ke ibu saya meminta pulang saja. “Hidup di pesantren nggak enak,” kata saya.

Maklumi saja saya waktu itu: anak kecil yang biasanya tinggal di rumah bersama keluarga dengan gaya hidup nyaman dan manja tiba-tiba harus berpindah haluan menetap di pesantren. Biasanya yang saat di rumah bisa tidur pulas di kasur empuk, di pesantren berganti tidur beramai-ramai beralas kasur tipis atau langsung menempel lantai. Biasanya jam lima pagi dibangunkan ibu dan bahkan masih sempatnya bilang “bentar, masih ngantuk” sembari tidur lagi. Maka ketika di pesantren tak lagi seperti itu, kami harus bangun maksimal jam empat subuh. Kami kemudian bergegas antri mandi atau sekedar wudhu. Dilanjutkan persiapan shalat subuh, mengaji, belajar kosakata bahasa arab, antri sarapan, dan berangkat sekolah mendekati jam tujuh pagi.

Urusan pakaian pun begitu. Biasanya dicucikan, maka saat di pesantren kami harus mencuci dan menjemur pakaian sendiri. Sedikit cerita berkesan saat pertamakali saya melakukan aktifitas mencuci. Saat itu saya masukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam bak yang sudah saya isi air. Saya biarkan sepuluh menitan, kemudian saya angkat dan langsung saya jemur. Sudah. Begitu saja. Tanpa kucek dan tanpa deterjen. Waktu itu saya memang tidak tahu dan belum pernah belajar cara mencuci.

Hidup di pesantren memang jauh dari keluarga juga ketat dalam berdisiplin, serta benar-benar mandiri (ya, terutama tentang kedisiplinan dan sangat banyaknya aturan yang akan panjang kalau saya jelaskan di sini, yang benar-benar jauh berbeda dengan dua pesantren lain yang saya rasakan beberapa tahun setelah itu). Di awal begitu terasa tidak nyaman. Tidak kerasan. Dan rasa itu semakin dahsyat ketika ibu saya pamit beranjak pulang ke Lamongan meninggalkan saya di pesantren. Benar-benar berat. Tangis saya sering pecah karena ingat rumah dan keluarga di kampung halaman. Sekadar tambahan, waktu favorit "basah-basah air mata" itu yakni menjelang maghrib, saat cahaya matahari mulai meredup diiringi tilawah Quran yang terlantun nyaring bersumber dari masjid pesantren.

Namun hidup di pesantren adalah pengalaman tak ternilai. Di sanalah selain dibekali ilmu umum, para santri juga belajar ilmu agama. Pengokohan spiritual adalah hal yang diutamakan. Para santri disiapkan untuk kelak mampu bertarung dalam urusan dunia tanpa melupakan Tuhannya, dan memahamkan bahwa akhirat adalah masa depan kita sesungguhnya.

Di sanalah santri berupaya dalam kesungguhan dan ketangguhan. Melatih diri untuk patuh dan disiplin. Belajar mandiri. Manajemen waktu dan keuangan. Tak ketinggalan juga menyikapi gaya hidup dalam kesederhanaan. Di sanalah juga saya bisa berkumpul dan mengenal bermacam karakter teman dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari luar negeri. Saya juga mulai mengenal kebersamaan, keragaman, dan budaya berbagi.

Di pesantren, libur panjang terjadi hanya dua kali dalam setahun: tengah Tahun Hijriyah dan saat Bulan Ramadan. Kami perlu menunggu setengah tahun untuk mendapat momen emas itu. Ya, momen emas. Kami senang bukan main ketika waktu mendekati pekan ujian. Kami girang bukan karena ujiannya, tapi karena ada liburan setelah pekan ujian, Kenapa dengan liburan? Ia adalah momen berharga yang paling ditunggu semua santri: kesempatan untuk bisa pulang ke daerah asal masing-masing. Liburan adalah kesempatan untuk menginjak kampung halaman dan bertemu keluarga.

Meski liburan hanya muncul setengah tahun sekali, kami sangat bersyukur. Lebih-lebih juga karena tak semua santri bisa pulang sebab alasan tertentu. Bagi yang tak bisa pulang saat liburan pas Ramadan, mereka menghabiskan bulan istimewa itu di pesantren. Waktu itu, saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya Ramadan dan Idul Fitri di pesantren, tanpa pulang ke kampung halaman, tanpa bertemu orangtua.

Maka itulah yang saya rasa paling berkesan dari pesantren. Bahwa bersama keluarga adalah kesempatan yang super mahal. Bahwa momen itu akan nyata lebih terasa kala kita jauh dan terpisah, apalagi ketika tinggal di tempat yang begitu berbeda dengan biasanya.

Dan saat ini,, meski tak lagi sebagai santri yang tinggal di pesantren, kota saya bekerja dan berjuang juga cukup berjarak dari kota kelahiran. Namun tentu saya rutinkan satu-dua bulan sekali untuk bersapa ke kampung halaman, sekalipun hanya sebentar.

Jauh dari keluarga memang membuat kita merasa kangen. Dan nilainya menjadi berlipat karena tak hanya kita saja yang merasakan itu. Orangtua kita juga tentu mempunyai rasakannya. Bahkan mungkin jauh lebih besar. Ini yang mungkin jarang kita renungi. Saya jadi ingat salah satu teman kuliah dulu yang berpesan kepada saya saat saya menunda pulang karena sedang malas. “Pulanglah meski sedang enggan! Karena orangtuamu juga punya hak untuk rindu dan ingin bertemu denganmu.”


mlg/24/11/14
kosa kata bahasa arab

akhwat muslimah

kosa kata bahasa arab

smile

tetap senyum
sehebat apa pun ujian hidup
serunyam apa pun masalah
segundah apa pun pikiran
sepenuh apa pun tekanan batin

tetap senyum
berapa pun rezeki yang dipunya
berapa pun usaha yang tampaknya sia-sia
berapa pun doa yang rasanya menguap tak menjelma

tetap senyum
walau kiranya hilang yang dicinta
meski rupanya datang yang tak disuka

tetap senyum
bukan seberapa simetris lengkungan bibir kita
bukan seberapa menyipit mata kita karenanya
tapi senyum tulus dan ikhlas

tetap senyum
lantaran ia mendamaikan
lantaran ia mencerahkan
lantaran ia perekat karib
serta perakit senyum-senyum yang lain

tetap senyum
sebab senyum itu tak berbiaya, lagi mudah
sebab senyum itu ibadah, lagi sedekah

tetap senyum
sungguh Allah senantiasa menguatkan
jangan takut, dan jangan bersedih
sungguh Allah selalu membersamai


mlg/7/1/15
dambo jalan

Allah
kami memang dangkal
masih merasa masih bodoh
namun kami tetap berhasrat
ingin menggali terus ilmuMu
maka mudahkan kami untuk tak henti belajar
memahami, menjaga, dan mengamalkannya
ilmu yg agung juga luas

Allah
kami memang masih berlumur salah
kami masih mengandung dosa
namun kami menyesal
kami ingin berhenti
maka mudahkan kami untuk menjauh
tak mengulang lagi mungkar
dan beralih mendekati ma'ruf

Allah
kami terkadang masih angkuh
hati kami juga sering keruh
namun kami ingin berbenah
mudahkan hati ini merendah
juga jernihkanlah
hingga bersih atas segala kotornya

Allah
kami sesekali merasa puas diri
hingga terhenti
kami tak lagi melangkah, apalagi mendaki
namun kami sadar
bahwa perjuangan harus tetap berjalan
maka mudahkan kami
untuk mampu istiqomah
tak henti menjadi baik serta memperbaiki
tak henti menapak jalan petunjukMu

Allah
meski kami tahu
jalanMu memang panjang
juga kami tak tahu
sampai kapan dan sampai mana ujung itu
namun kami tahu
bahwa tugas kami adalah tetap berjalan
dan mati di atasnya

dan Sayyid Quthb pernah berkata
bahwa tiap orang akan menujuNya sesudah matinya
maka bahagialah yang sudah menujuNya semasa hidupnya


mlg/4/1/15

pintu ruang gelap

rasanya ingin kudobrak
segera melesat menyeruak
tapi urung
mampu tapi merasa belum tepat waktu

kiranya sekedar bisa mengintip
apa yang terjadi di sana
masih tetap ataukah berubah..
sama ataukah berbeda..
tembok tebal itu
tembok waktu buatan wakilmu

ini sebab gemuruh lubukku
gemuruh yang kian liar menerjang
membesar dan mengombang-ambing
gemuruh nan mengaduh
hingga lubuk tak tahan tapi tertahan
hingga berat terbeban tapi masih teremban

namun aku dalam tempurung
diam dan memilih tak berkutik
sabar menanti kabar
terkungkung dan terpekur
sampai kau datang membuka
dan berkata, "ini saatnya!"
maka aku keluar meluncur

sudah lama gerah dan gemas
ingin sangat menarik maju waktu
meski masih sembari menunggu

ini tentang sanubari
kepadamu
ini tentang iktikad
meminangmu


mlg/1/1/15
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home