Senang
rasanya kemarin bisa pulang ke kampung halaman. Bisa bertatap muka dengan
keluarga. Menjumpai ibu, kakak sepupu, paman, bibi, tetangga, serta teman. Senang
bisa bernostalgia dengan desa kecil di kawasan jalur pantai utara itu. Desa tempat
saya lahir dan tumbuh. Desa yang menyimpan aneka kenangan. Yah,, meskipun pulang
hanya sekilas: satu hari saja, tapi itu cukup memuaskan. Bersyukur.
Ada waktu
ketika kesempatan pulang kampung rasanya menjadi bermakna lebih, sangat
berkesan, tatkala saya meloncat mengingat empat belas tahun lalu, saat saya mulai
mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Saat saya mengawali
merasakan kehidupan di pesantren.
Ketertarikan
menjadi santri pondok bermula saat saya mendekati akhir sekolah dasar (SD). Ada
salah satu sahabat yang berceloteh bahwa dirinya setelah lulus SD akan
melanjutkan studinya di pesantren. Dia mencoba sekenanya menggambarkan kehidupan
menjadi santri di sana. Dari ceritanya, kedengarannya asyik. Kemudian dia
menawarkan saya untuk ikut.
Saya
tertarik. Dengan polosnya saya lansung memutuskan untuk ikut lanjut sekolah di pesantren,
bersama sahabat saya tadi. Saya ungkapkan kepada ibu bahwa saya ingin mondok
(tinggal dan belajar di pondok/pesantren). Saat itu ibu saya mengiyakan.
Ada yang bilang
bahwa sungguh mulia keinginan saya untuk tinggal di pesantren, karena akan menjadi pribadi yang mandiri dan
mendalami ilmu agama. Padahal sebenarnya ketika itu, pesantren hanya saya jadikan obyek "pelarian".
Saya kira kegiatan pesantren hanya mengaji Quran, bebas dari matematika IPA IPS
serta mata pelajaran umum lainnya (pelajaran yang saya jenuhkan saat SD). Nyatanya
tidak seperti itu. Pelajaran umum maupun agama sama-sama ada di pesantren,
bahkan sama-sama berporsi besar. Maka perkiraan saya melenceng dari
kenyataanya.
Sekitar tiga
pekan sebelum saya berangkat, ibu mulai menampakkan kekuatiran serta keberatannya.
Mungkin karena berat di biaya (biaya masuk pesantren yang saya inginkan itu
memang cukup tinggi bagi keluarga kami, dan kala itu saya belum menyadarinya),
atau karena berat di perpisahan (ibu "hanya punya" saya, ayah meninggal ketika
saya umur setahunan, dan saya anak tunggal). Namun reaksi ibu kala itu tak saya
hiraukan, saya sudah terlanjur ingin tinggal di pesantren.
Pesantren itu
berlokasi di Ponorogo, tepatnya di Desa Madusari. Mata saya terpana saat awal memasuki
kawasan religius itu. Saya terhentak dengan suasananya yang berbeda dengan
perkiraan saya. Berbeda jauh. Bayangan saya, pesantren itu identik dengan lingkungan
yang sederhana dan tradisional. Namun nyatanya pesantren yang saya masuki ini memiliki
kesan megah dan modern.
Saat memasuki
gerbang, kaki saya mulai melangkah-langkah. Pandangan saya tak henti menyusuri
tiap sudut pesantren. Areanya sangat luas; santrinya ribuan bertebaran; gedung-gedung
rapih bertingkat; masjidnya indah dan besar; ada aneka kantin serta toko berserakan
melayani kebutuhan keseharian santri; tersedianya minimarket; terbentang taman
yang indah; berbagai jenis lapangan olahraga; dapur yang lebar; dan banyak
lainnya. Saat itu saya memang tak menyangka ada pesantren yang begitu besar seperti ini. Saya
baru sadar bahwa saya berada di pesantren modern yang memiliki banyak cabang di
Indonesia, bahkan katanya terbesar se-Asia Tenggara.
Namun megahnya
pesantren tak seketika berbanding lurus dengan kenyamanan santri yang
menghuninya (setidaknya itulah yang saya dan sahabat saya rasakan, tentunya seiya
dengan sebagian besar santri lain). Kami merasa tidak nyaman. Kami masih kaget dengan
suasana pesantren yang sangat berbeda dengan rumah serta kampung halaman. Kami
merasa tidak kerasan meski selama awal tiga hari kami masih ditemani orangtua.
Waktu itu saya juga sempat merengek ke ibu saya meminta pulang saja. “Hidup di
pesantren nggak enak,” kata saya.
Maklumi saja saya waktu itu: anak
kecil yang biasanya tinggal di rumah bersama keluarga dengan gaya hidup nyaman
dan manja tiba-tiba harus berpindah haluan menetap di pesantren. Biasanya yang saat
di rumah bisa tidur pulas di kasur empuk, di pesantren berganti tidur
beramai-ramai beralas kasur tipis atau langsung menempel lantai. Biasanya jam
lima pagi dibangunkan ibu dan bahkan masih sempatnya bilang “bentar, masih
ngantuk” sembari tidur lagi. Maka ketika di pesantren tak lagi seperti itu, kami harus
bangun maksimal jam empat subuh. Kami kemudian bergegas antri mandi atau
sekedar wudhu. Dilanjutkan persiapan shalat subuh, mengaji, belajar kosakata
bahasa arab, antri sarapan, dan berangkat sekolah mendekati jam tujuh pagi.
Urusan pakaian pun
begitu. Biasanya dicucikan, maka saat di pesantren kami harus mencuci dan
menjemur pakaian sendiri. Sedikit cerita berkesan saat pertamakali saya melakukan aktifitas mencuci. Saat itu saya masukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam
bak yang sudah saya isi air. Saya biarkan sepuluh menitan, kemudian saya angkat dan langsung saya jemur.
Sudah. Begitu saja. Tanpa kucek dan tanpa deterjen. Waktu itu saya memang tidak tahu dan belum pernah belajar cara mencuci.
Hidup di
pesantren memang jauh dari keluarga juga ketat dalam berdisiplin, serta benar-benar mandiri
(ya, terutama tentang kedisiplinan dan sangat banyaknya aturan yang akan
panjang kalau saya jelaskan di sini, yang benar-benar jauh berbeda dengan dua pesantren
lain yang saya rasakan beberapa tahun setelah itu). Di awal begitu terasa tidak
nyaman. Tidak kerasan. Dan rasa itu semakin dahsyat ketika ibu saya pamit beranjak
pulang ke Lamongan meninggalkan saya di pesantren. Benar-benar berat. Tangis saya sering
pecah karena ingat rumah dan keluarga di kampung halaman. Sekadar tambahan, waktu favorit "basah-basah air mata" itu yakni menjelang maghrib, saat cahaya matahari mulai meredup diiringi tilawah Quran yang terlantun nyaring bersumber dari masjid pesantren.
Namun hidup
di pesantren adalah pengalaman tak ternilai. Di sanalah selain dibekali ilmu
umum, para santri juga belajar ilmu agama. Pengokohan spiritual adalah hal yang
diutamakan. Para santri disiapkan untuk kelak mampu bertarung dalam urusan
dunia tanpa melupakan Tuhannya, dan memahamkan bahwa akhirat adalah masa depan
kita sesungguhnya.
Di sanalah santri
berupaya dalam kesungguhan dan ketangguhan. Melatih diri untuk patuh dan disiplin. Belajar mandiri. Manajemen waktu dan keuangan. Tak ketinggalan juga menyikapi gaya hidup dalam kesederhanaan.
Di sanalah juga saya bisa berkumpul dan mengenal bermacam karakter teman dari
berbagai daerah di Indonesia bahkan dari luar negeri. Saya juga mulai mengenal kebersamaan,
keragaman, dan budaya berbagi.
Di
pesantren, libur panjang terjadi hanya dua kali dalam setahun: tengah Tahun
Hijriyah dan saat Bulan Ramadan. Kami perlu menunggu setengah tahun untuk
mendapat momen emas itu. Ya, momen emas. Kami senang bukan main ketika waktu mendekati pekan ujian. Kami girang bukan
karena ujiannya, tapi karena ada liburan setelah pekan ujian, Kenapa dengan liburan? Ia adalah momen berharga yang paling ditunggu semua santri: kesempatan untuk bisa pulang ke daerah asal masing-masing. Liburan adalah kesempatan untuk menginjak kampung halaman dan bertemu keluarga.
Meski liburan hanya muncul setengah tahun sekali, kami sangat bersyukur. Lebih-lebih juga karena tak semua
santri bisa pulang sebab alasan tertentu. Bagi yang tak bisa pulang saat liburan pas Ramadan,
mereka menghabiskan bulan istimewa itu di pesantren. Waktu itu, saya tak bisa
membayangkan bagaimana rasanya Ramadan dan Idul Fitri di pesantren, tanpa
pulang ke kampung halaman, tanpa bertemu orangtua.
Maka itulah
yang saya rasa paling berkesan dari pesantren. Bahwa bersama keluarga adalah
kesempatan yang super mahal. Bahwa momen itu akan nyata lebih terasa kala kita jauh dan terpisah, apalagi ketika tinggal di tempat yang begitu berbeda dengan biasanya.
Dan saat ini,, meski tak lagi sebagai santri yang tinggal di pesantren, kota saya bekerja dan berjuang juga cukup berjarak dari kota kelahiran. Namun tentu saya rutinkan satu-dua bulan sekali untuk bersapa ke kampung halaman, sekalipun hanya sebentar.
Dan saat ini,, meski tak lagi sebagai santri yang tinggal di pesantren, kota saya bekerja dan berjuang juga cukup berjarak dari kota kelahiran. Namun tentu saya rutinkan satu-dua bulan sekali untuk bersapa ke kampung halaman, sekalipun hanya sebentar.
Jauh dari
keluarga memang membuat kita merasa kangen. Dan nilainya menjadi berlipat
karena tak hanya kita saja yang merasakan itu. Orangtua kita juga tentu mempunyai
rasakannya. Bahkan mungkin jauh lebih besar. Ini yang mungkin jarang kita renungi.
Saya jadi ingat salah satu teman kuliah dulu yang berpesan kepada saya saat saya menunda
pulang karena sedang malas. “Pulanglah meski sedang enggan! Karena orangtuamu
juga punya hak untuk rindu dan ingin bertemu denganmu.”
mlg/24/11/14
0 comments:
Post a Comment