ibu anak

“Beri hamba keturunan! Satu saja. Satu saja, ya Allah.”

Begitu ucapku, dengan tangan menengadah, raga di atas sajadah. Tak seperti biasanya saat aku meminta di hadapan Sang Khalik. Kali ini doaku sangat singkat.

Biasanya, bisa bermenit-menit aku habiskan untuk berdoa seusai shalat malam. Bisa puluhan kata yang keluar dari mulutku sebagai kesungguhanku memohon kepadaNya. Bisa menggenang tetes air mataku kala mengadu, beriringan dengan isak tangis lirih. Namun, kali ini berbeda. Sangat singkat.

Entah kenapa. Aku tak tahu. Apakah ini bermakna aku lelah? Lelah karena doaku seakan tak ada manfaatnya? Lelah karena doaku tak kunjung dikabulkan? Lelah karena rasanya Allah tak mendengarku? Atau, Allah mendengar namun tak sudi mengabulkan?

Astaghfirullah, semoga tidak seperti itu.

Kalaupun benar aku lelah, semoga singkat doaku ini sebab hatiku yang sekedar penat sejenak. Sekedar sejenak kesabaranku turun. Namun tak mengubah sedikitpun harap dan semangatku kepadaNya untuk terus berdoa memohon. Memohon agar Allah berkenan memberiku kesempatan untuk memiliki anak.

Kini, tahun usia pernikahanku sudah menginjak angka empat belas. Tak terasa sama sekali perjalanan ini, yang bila dilihat dari sudut pandang kebahagian, terasa singkat bagai kedipan mata. Namun terasa sangat dan semakin berat tatkala kulihat dari sudut pandang nestapa. Nestapaku yang tak juga memiliki keturunan.

Sebagai wanita, juga sebagai seorang istri, hal ini terasa begitu berat. Empat belas tahun bukan waktu yang pendek. Bukan pula waktu yang panjang,, tapi panjang yang amat sangat!

Ada beban tersendiri di tiap bulan, tiap pekan, tiap hari, juga tiap detiknya. Beban bahwa aku belum juga punya anak! Beban itu terasa lebih berat bila kulihat teman-temanku yang sudah punya anak, tetangga-tetanggaku yang punya momongan, juga rekan-rekan di tempat kerjaku. Dan sungguh, jujur saja, beban itu terasa memberat tatkala mereka memamerkannya kepadaku. Mereka menceritakan kelucuan buah hati mereka, kehebatan jagoan kecil mereka, tingkah laku, prestasi, dan hal-hal lain tentang mereka.

Astaghfirullah. Bukan maksudku iri. Bukan maksudku sedih di atas kebahagiaan orang lain. Sungguh bukan seperti itu.

Dari segi materi, kami memang tergolong berkecukupan. Aku seorang wanita karir. Aku bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan di kota Bandung. Suamiku, Mas Hamdan, adalah seorang arsitektur. Hari-harinya dipenuhi dengan kesibukan menggarap berbagai proyek pembangunan hotel dan apartemen di kota-kota besar.

Sebenarnya aku bisa saja tak bekerja. Tak perlu repot-repot. Cukup suamiku. Lebih-lebih, aku juga tak terlalu suka bila bekerja sampai larut sore. Sibuk dengan deadline-deadline kantor. Lembur hingga terkadang pulang kebablas malam. Namun, aku merasa itulah yang terbaik buatku. Itulah yang terbaik untuk mengisi waktuku. Karena aku tahu, bila aku tak bekerja dan hanya tinggal di rumah, apa yang bisa kulakukan? Menjadi ibu rumahtangga secara penuh? Mendidik, merawat, dan menemani buah hati? Jangan dikira aku tak menginginkannya. Tentu aku sangat menginginkannya! Namun, bagaimana mungkin aku mewujudkannya? Sedangkan semua tahu, bahwa aku belum punya anak!

Kehadiran buah hati yang aku damba, tetap belum juga kunjung datang. Limpahan rizki materi yang aku genggam pun terasa hambar. Keputusanku menjadi wanita karir adalah karena itulah yang menurutku satu-satunya hal yang aku bisa pilih, yang hanya aku bisa lakukan untuk mengisi waktuku. Setidaknya, aku bisa tetap beraktifitas dan menyibukkan diri. Sehingga tidak ada waktu buatku untuk termenung berlama-lama meratapi kesedihan. Kesedihan tak kunjung punya anak.

Aku masih tetap tegar. Meski buah hati belum kunjung hadir, aku sabar. Aku juga harus selalu berterimakasih kepada Tuhan dengan keadaanku yang serba berkecukupan. Dan yang lebih utama serta harus diingat, aku sangat bersyukur punya suami yang begitu istimewa. Saat aku lelah, saat kesabaranku menurun seperti ini, saat aku tampak gundah karena kebelum-beradaan buah hati, dia selalu menyejukkan dan mencerahkanku lewat ucap katanya.

“Setiap dari manusia punya masalah masing-masing,” tutur Mas Hamdan.

“Ada yang risau karena tak kunjung bertemu jodoh. Yang berjodoh, galau karena tak juga menimang anak. Yang punya anak,
ada yang sedih sebab ia dilahirkan cacat. Atau, anaknya justru menjadi sumber celaka, durhaka pada orangtuanya.

“Jangan cemas. Jangan bersedih, istriku. Jangan bahkan merasa menjadi yang paling merana di dunia. Tidakkah kita malu atas hal kecil ini? Segala perkara sepatutnya kita serahkan penuh pada Allah. Kita harus sabar, dan kita syukuri sisi yang lain.

“Tidakkah juga kita malu dengan saudara-saudara kita lainnya? Yang olehNya mereka ditimpa cobaan yang jauh lebih dahsyat, namun mereka kukuh tegar dan sabar.

“Masalah adalah hal yang mutlak keberadaanya, istriku. Selalu menyandingi manusia di tiap jengkal lintasan hidupnya. Masalah selalu ada di mana pun wajah kita menghadap. Masalah, dia adalah kepastian. Sedangkan menghadapinya, bersabar, dan bersyukur, adalah pilihan kita.

“Suatu perkara, kadang kita tak tahu apakah itu petaka atau malah karunia. Kita hanya perlu selalu berprasangka baik kepada Allah.”



mlg/31/8/14
kosa kata bahasa arab

kartun muslimah hijab

kartun muslimah berhijab

Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home