Hari jum’at
kemarin, saya melakukan perjalanan ke beberapa titik dusun di dua kecamatan di
kabupaten Malang. Bersama rombongan dari YDSF (Yayasan Dana Sosial
al-Falah) Malang yang berjumlah lima orang, kami tancap gas dari kota menuju
kabupaten sekitar jam sembilan pagi. Dengan bertunggangan mobil, sekitar jam
sepuluh kami tiba di kecamatan kromengan, yang kemudian di lanjutkan di
kecamatan Wonosari.
Di
Kromengan, pada mulanya kami menemui salah satu da’i mitra kami yang bermukim
di dekat sana. Da’i tersebut bertindak sebagai guide selama survei, karena
dialah yang paham dan bisa membantu kami menunjukkan arah dan tempat titik
dusun yang kami targetkan.
Survei yang
kami lakukan adalah berkaitan dengan kegiatan salur hewan qurban yang akan
diadakan YDSF Malang saat momen Idul Adha awal bulan Oktober kelak. Survei kami
lakukan dengan menemui beberapa tokoh masyarakat di sana. Perlunya kami
mengunjungi tokoh tersebut adalah agar kami bisa meminta data sosial-ekonomi
penduduk setempat. Dengan adanya survei, kami bisa mengetahui keadaan
penduduk suatu daerah, berapa jumlahnya, apa mata pencahariannya, seberapa
pendapatannya, dan lain sebagainya. Setelah mengetahui data tersebut,
selanjutnya kami jadikan sebagai ukuran dalam menentukan layak-tidaknya daerah
tersebut untuk kegiatan salur hewan qurban.
Sekitar
delapan jam kami habiskan waktu untuk melakukan penelusuran di beberapa titik
dusun di dua kecamatan Malang Selatan ini, Kromengan dan Wonosari. Memang, kali
ini rentang waktu untuk survei tak seberapa panjang. Kadang kami sampai harus
menginap di rumah warga bila survei menghabiskan waktu dua atau tiga hari
berturutan.
Untuk
menyalurkan ratusan hewan qurban secara tepat sasaran, kami perlu melakukan
survei ke puluhan titik daerah pelosok di kabupaten Malang, sehingga kami bisa
mengetahui daerah mana yang sangat membutuhkan dan layak untuk mendapatkan
bantuan daging qurban.
Di samping
kehidupan masyarakat kota yang rata-rata berkecukupan bahkan mewah, ternyata masih
banyak saudara kita di desa yang perlu uluran bantuan kita. Banyak dari mereka
tergolong tidak mampu dan tinggal di daerah pelosok, yang kadang untuk
meniliknya perlu melalui jalan yang terjal, berliku, dan sulit untuk diakses
dengan kendaraan bermotor. Bahkan saat kami melakukan survei tahun 2013 lalu,
dari mereka ada yang perkampungannya belum teraliri listrik.
Ada banyak
momen berharga tiap saya mengikuti survei seperti ini. Salah satunya, saya bisa
mengetahui keadaan keluarga yang kurang mampu dari segi materi, bagaimana
mereka berjuang banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya, bagaimana mereka
memeras keringat namun hasilnya cuma setara sesuap nasi, bagaimana mereka bisa
selalu bahagia dan bersyukur dengan kesederhanaan yang mereka punya, dan masih
banyak lagi hal berharga lainnya yang saya dapatkan.
Setiap
survei adalah salah satu pengalaman berharga bagi saya. Satu lagi yang berkesan
saat survei kemarin yang ingin saya ceritakan adalah ketika kami berhenti
sejenak di salah satu masjid, lokasinya sekitar 20 meter dari SMP Dharmawanita
09 Kromengan. Kala hari jum’at itu, jam tangan saya menunjukkan angka
setengah dua belas, pertanda waktu salat Jum’at. Tepat adzan berkumandang,
saya dan tim survei mengambil air wudhu. Selanjutnya kami memasuki masjid.
Tampak di
dalam masjid, duduk bersila beberapa jama’ah, sekitar tiga puluhan jumlahnya,
termasuk beberapa darinya anak-anak kecil yang meringis bercanda di baris
paling belakang. “Sedikit sekali jama’ahnya,” gumam saya dalam hati. Saya
kemudian mengerjakan salat sunnah dan setelahnya duduk tenang mendengarkan
ceramah Jum’at.
Di atas
mimbar, terlihat sosok berbaju putih bersih dengan menggunakan sarung dan
berkopyah. Kulitnya berkeriput. Sorot matanya teduh tatkala bapak khotib itu
berkhutbah dengan nada suaranya yang berkelok khas orang tua, tapi jelas dan
anggun.
Beberapa
menit berlalu. Di tengah ceramahnya, bapak itu diam sejenak.
Tes..
Setelah saya amati, terdapat kilauan air di pipinya. Ternyata beliau meneteskan
air mata.
Di sepanjang
bagian akhir pidatonya, jeda demi jeda semakin terasa. Tetes air matanya
semakin menjadi. Pidatonya pun sesekali agak terbata layaknya orang yang
menahan tangis kala bicara. Saya terus mencermatinya. Beliau tampak ingin
memberi penekanan atas tiap jeda yang muncul sepanjang akhir khutbahnya. Seakan
ingin memberitahu para jama’ah, “Hei, ini adalah perkara penting. Perhatikan!”
Dari kilau
mata dan getar mulutnya, semakin jelas bahwa bapak khotib itu mengharap sangat
kepada para jama’ah agar tidak hanya sekedar mendengarkan khutbahnya, tapi juga
meresapi, mencamkan, dan mengamalkannya. Sudah sering saya mendengarkan khutbah
jum’at dengan retorika yang menggelora, namun baru pertama ini saya
mendengarkan khutbah diiringi isak tangis. SubhaanaAllah.
Isi khutbah bapak
itu, yang sampai membawanya dalam tangis penuh ketaqwaan, yang juga benar-benar
menghantam hati saya hingga membuat saya malu atas diri sendiri, adalah tentang
pentingnya salat. Salat yang tidak hanya sekedar salat, tapi salat dengan
khusuk penuh penghayatan. Salat yang penuh rasa takut serta mengharap ampun
kepada Allah. Salat yang nyatanya merupakan ibadah paling utama yang begitu
menentukan baik-buruknya amalan lain kita.
Beliau juga
menjelaskan bahwa bila salat kita sempurna, sempurna dalam syarat, rukun dan
khusuknya, maka selayaknya kita akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Sehingga, jika kita merasa sudah menegakkan salat lima waktu dan melengkapinya
dengan salat sunnah tapi masih saja melakukan maksiat, maka tentunya ada masalah
dengan salat kita. Ada sela yang masih perlu kita benahi. Karena jangan-jangan
salat kita belum sempurna. Belum benar sesuai dengan yang disyariatkan Islam.
Jangan-jangan salat kita belum khusuk. Sehingga belum bisa menjadi benteng
kokoh untuk melindungi kita dari kemungkaran dan kemaksiatan.
mlg/6/9/14
Kakek
penjual amplop.
Perbungkus isinya sepuluh amplop, dijualnya sepuluh ribuan.
Diambilnya keuntungan tak sampai tiga ratus rupiah untuk tiap bungkusnya, bukan tiap amplop.
Kakek itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa.
Kalaupun terjual sepuluh bungkus amplop, keuntungannya tak sampai cukup untuk membeli nasi bungkus jalanan.
Lebih-lebih, siapa hari gini yang mau membeli banyak amplop.
mlg/2/9/14/*diadaptasi dari kisah nyata "Bapak Tua Penjual Amplop Itu" oleh Bapak Rinaldi Munir
Perbungkus isinya sepuluh amplop, dijualnya sepuluh ribuan.
Diambilnya keuntungan tak sampai tiga ratus rupiah untuk tiap bungkusnya, bukan tiap amplop.
Kakek itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa.
Kalaupun terjual sepuluh bungkus amplop, keuntungannya tak sampai cukup untuk membeli nasi bungkus jalanan.
Lebih-lebih, siapa hari gini yang mau membeli banyak amplop.
mlg/2/9/14/*diadaptasi dari kisah nyata "Bapak Tua Penjual Amplop Itu" oleh Bapak Rinaldi Munir